Aprilita mengungkapkan, antusiasme mahasiswa sangat tinggi. Banyak dari mereka yang baru pertama kali mendapat pemahaman mendalam mengenai cara mengelola stres secara ilmiah dan humanis.
Ia menegaskan, kegiatan serupa akan terus digelar secara berkala dengan topik yang relevan dengan kebutuhan mahasiswa. “Kami ingin terus menghadirkan kegiatan yang tidak hanya menambah wawasan, tetapi juga membentuk karakter dan kesejahteraan psikologis mahasiswa FEB UPR agar siap menghadapi tantangan dunia kerja dan kehidupan sosial secara sehat,” tandas Aprilita.
Sementara itu, narasumber seminar, Fakhrisina Amalia Rovieq, S.Psi., M.Psi., Psikolog, menjelaskan bahwa kesehatan mental bukan hanya tentang ketiadaan gangguan jiwa, melainkan juga tentang kemampuan seseorang untuk mengenali potensi diri, mengelola stres, serta memberikan kontribusi positif bagi lingkungan sekitar.
Menurut Fakhrisina, kesehatan mental adalah kondisi sejahtera di mana seseorang mampu menyadari potensi dirinya, menghadapi tekanan hidup yang wajar, bekerja secara produktif, serta memberi manfaat bagi komunitasnya.
“Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), seseorang yang sehat secara mental mampu mengatasi tekanan kehidupan sehari-hari, menyadari kemampuan serta bakat yang dimilikinya, dan berfungsi secara efektif dalam aktivitas sosial maupun profesional,” ujarnya.
Ia menjelaskan, terdapat empat kriteria utama kesehatan mental menurut WHO, yakni mengenali potensi diri, mampu mengatasi stres, produktif, serta bermanfaat bagi orang lain. Dengan kata lain, kesehatan mental bukan hanya urusan batin, tetapi juga berkaitan dengan keseimbangan antara pikiran, perasaan, dan tindakan.
“Jika seseorang mampu memahami dan mengelola perasaannya dengan baik, itu menjadi modal penting dalam mencapai kesejahteraan psikologis. Sebaliknya, ketika emosi diabaikan, stres dapat menumpuk dan berdampak pada kesehatan fisik maupun hubungan sosial,” tambahnya.

Fakhrisina juga memaparkan bahwa stres adalah reaksi alami tubuh terhadap tekanan, ancaman, atau perubahan lingkungan yang menuntut penyesuaian. Ia menekankan bahwa stres bisa bersifat positif (eustress) maupun negatif (distress).
“Eustress dapat menjadi pemicu motivasi dan kreativitas, misalnya saat seseorang bersemangat menyelesaikan pekerjaan sebelum tenggat waktu. Namun jika tekanan berlebihan, stres bisa berubah menjadi distress yang menimbulkan rasa cemas, lelah, bahkan gangguan tidur,” terang Fakhrisina.
Ia menambahkan, tanda-tanda stres bisa muncul dalam bentuk gejala fisik seperti sakit kepala dan kelelahan, maupun gejala emosional seperti mudah marah, merasa tidak berguna, atau sulit berkonsentrasi.
“Cara terbaik mengelola stres adalah dengan gaya hidup sehat, menjaga pola makan dan tidur, rutin berolahraga, membatasi paparan media sosial, serta melakukan aktivitas positif seperti menulis jurnal atau berbagi cerita dengan orang terdekat,” katanya.
Menurutnya, bila stres semakin berat dan mulai mengganggu keseharian, mahasiswa tidak perlu ragu untuk mencari bantuan profesional. Dukungan psikologis bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk kepedulian terhadap diri sendiri.
Lebih jauh, Fakhrisina menekankan pentingnya membangun resiliensi atau daya lenting, yaitu kemampuan untuk beradaptasi dan bangkit dari kesulitan. “Resiliensi melibatkan fleksibilitas mental, emosional, dan perilaku. Artinya, kita tidak hanya bertahan di tengah tekanan, tapi juga tumbuh lebih kuat karenanya,” jelasnya.
Ia menutup dengan pesan bahwa menjaga kesehatan mental harus menjadi bagian dari gaya hidup, bukan sekadar respons terhadap masalah.
“Belajar mengelola stres dan mengasah ketahanan diri adalah investasi untuk kebahagiaan jangka panjang,” tandas Fakhrisina. (Red/Adv)










