PALANGKARAYA – Produksi padi di Kalimantan Tengah tahun 2025 diperkirakan mencapai 329,39 ribu ton gabah kering giling (GKG). Angka ini menurun 10,04 persen dibandingkan produksi tahun sebelumnya yang mencapai 366,15 ribu ton GKG.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalimantan Tengah, Agnes Widiastuti, S.Si., M.E., mengatakan bahwa penurunan tersebut menjadi refleksi dari berbagai faktor iklim dan pergeseran pola tanam yang memengaruhi hasil panen di sejumlah wilayah sentra produksi.
“Berdasarkan hasil Survei Kerangka Sampel Area (KSA) September 2025, kami memperkirakan total produksi padi di Kalimantan Tengah tahun ini sekitar 329,39 ribu ton GKG. Produksi ini turun sekitar 36,76 ribu ton dibanding tahun 2024,” ujar Agnes, Senin (3/11/2025)
Agnes menjelaskan, produksi padi tertinggi pada tahun ini tetap berasal dari Kabupaten Kapuas, disusul oleh Pulang Pisau dan Katingan. Sementara tiga daerah dengan produksi terendah adalah Murung Raya, Gunung Mas, dan Kota Palangka Raya.
“Penurunan terbesar terjadi di wilayah sentra utama seperti Kapuas dan Pulang Pisau. Namun, kami juga mencatat peningkatan signifikan di beberapa kabupaten seperti Kotawaringin Barat dan Seruyan,” imbuhnya.
Dari hasil pengamatan lapangan, sepanjang Januari–September 2025, produksi padi di Kalimantan Tengah mencapai 301,25 ribu ton GKG, dengan potensi tambahan 28,13 ribu ton GKG pada triwulan akhir tahun.
Berdasarkan data BPS, produksi padi dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP) tahun ini juga menurun menjadi 384,09 ribu ton, atau turun sekitar 10,04 persen dibandingkan tahun lalu.
Meski demikian, menurut Agnes, penurunan ini bukan semata akibat produktivitas rendah, melainkan juga karena penurunan luas panen yang cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
“Luas panen tahun 2025 kami perkirakan sekitar 96,94 ribu hektare, turun 14,07 ribu hektare dibandingkan 2024. Faktor cuaca dan rotasi tanam menjadi salah satu penyebab,” jelasnya.
Ia menambahkan, BPS akan terus memperkuat pengamatan melalui metode KSA agar estimasi potensi produksi pangan semakin akurat dan bisa menjadi dasar kebijakan ketahanan pangan daerah.
“Data yang akurat bukan sekadar angka, tapi fondasi kebijakan. Dengan metode KSA, kita bisa merencanakan produksi pangan lebih presisi dan tanggap terhadap perubahan iklim,” tandas Agnes.(Red/Adv)


















