KARAWANG – Sebanyak 30 jurnalis asal Palangka Raya, Kalimantan Tengah, pada Rabu, 08 Oktober 2025, mendapat kesempatan langka menginjakkan kaki di area paling rahasia milik negara: kompleks Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) di Karawang. Di sinilah setiap lembar rupiah lahir, dijaga, dan diawasi ketat hingga siap beredar di seluruh pelosok negeri.
Kegiatan itu difasilitasi Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Provinsi Kalimantan Tengah melalui Forum Komunikasi Media 2025. Rombongan dipimpin Kepala Seksi Kehumasan KPwBI Kalteng, Dini Novita Sari, bersama tim humas BI.
Mengunjungi Peruri bukan kunjungan biasa. Bahkan untuk pegawai Bank Indonesia sendiri, masuk ke “dapur uang” tersebut memerlukan izin khusus dan melewati tahapan panjang.
Sebelum memasuki gedung utama, para tamu diwajibkan meninggalkan seluruh barang pribadi. Tak satu pun benda logam, uang tunai, atau alat perekam yang diizinkan melewati gerbang utama.
Setelah melewati pemeriksaan berlapis, setiap jurnalis diberikan kartu identitas VVIP sebagai akses elektronik menuju ruang pencetakan uang. Suasana tegang dan rasa penasaran bercampur jadi satu di wajah para peserta.
Rombongan disambut hangat oleh jajaran Peruri. Mereka diperkenalkan dengan sejarah panjang pencetakan uang rupiah sejak masa awal berdirinya perusahaan. Di galeri, berjejer berbagai emisi uang logam dan kertas yang menjadi saksi perjalanan ekonomi bangsa.
Deputi Kepala Perwakilan BI Kalteng, Ardian Pangestu, mengatakan kunjungan ini merupakan bentuk edukasi langsung tentang pentingnya menjaga rupiah sebagai simbol kedaulatan nasional. “Melalui kunjungan ini, rekan-rekan jurnalis bisa melihat langsung betapa ketat dan berharganya proses pencetakan uang rupiah,” ujarnya, Rabu (08/10/2025).
Proses panjang yang disaksikan membuat para wartawan memahami betapa rumitnya mencetak satu lembar uang. Mulai dari desain, keamanan, hingga kontrol mutu yang luar biasa ketat.
Mereka juga mengetahui bahwa tinta uang bukan sembarang tinta, melainkan hasil kerja sama internasional dan tidak dijual bebas di pasaran.
“Pengalaman ini membuka mata kami bahwa rupiah bukan sekadar alat bayar, tapi hasil kerja keras dan pengawasan tingkat tinggi,” tandas Ardian. (Red/Adv)