PALANGKARAYA – Bank Indonesia (BI) kembali menahan suku bunga acuan (BI-Rate) di level 4,75 persen pada Oktober 2025. Kebijakan ini mencerminkan konsistensi BI menjaga stabilitas ekonomi nasional sekaligus mendukung pertumbuhan kredit di daerah, termasuk Kalimantan Tengah.
Sepanjang Januari hingga April 2025, BI mempertahankan suku bunga acuan di posisi 5,75 persen. Kemudian pada Mei 2025 diturunkan menjadi 5,50 persen dan bertahan hingga Juni. Selanjutnya, BI kembali memangkas suku bunga berturut-turut menjadi 5,25 persen pada Juli, 5,00 persen pada Agustus, dan 4,75 persen pada September 2025.
Penetapan BI-Rate yang tetap di posisi 4,75 persen diumumkan melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 22 Oktober 2025. Sepekan kemudian, The Federal Reserve (The Fed) Amerika Serikat menurunkan suku bunga acuan (FFR) menjadi 3,75–4,00 persen.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Tengah, Yuliansah Andrias, menjelaskan, kebijakan tersebut merupakan langkah BI menjaga keseimbangan antara stabilitas ekonomi dan dorongan pembiayaan produktif.
“Penetapan BI-Rate sebesar 4,75 persen menunjukkan upaya Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan kredit yang sehat di Bumi Tambun Bungai. Tingkat suku bunga ini cukup akomodatif, mendukung aktivitas pembiayaan dan investasi, khususnya bagi pelaku UMKM dan petani,” ujar Yuliansah pada kegiatan Bincang Sore bersama Bank Indonesia dan Media di Kantor KPw-BI Palangka Raya, Selasa (11/11/2025).
Ia menambahkan, meskipun penurunan suku bunga acuan memberi ruang bagi perbankan menyesuaikan bunga kredit, dampaknya bagi sektor UMKM di daerah tidak langsung terasa. Perbankan membutuhkan waktu transisi untuk menyesuaikan biaya operasional, risiko kredit, dan kondisi likuiditas.
Lebih lanjut, menurutnya, keputusan bank daerah menurunkan bunga pinjaman tidak serta-merta mengikuti perubahan BI-Rate. Penyesuaian dilakukan bertahap, menyesuaikan struktur biaya dana dan profil risiko nasabah.
“UMKM dan petani dapat memperkuat akses pembiayaan dengan menjaga rekam jejak keuangan yang baik, meningkatkan transparansi usaha, serta memanfaatkan program pembinaan dan digitalisasi keuangan. Dengan profil risiko yang terukur, mereka akan lebih mudah memperoleh bunga pinjaman yang kompetitif,” terangnya.
Kebijakan suku bunga acuan, lanjutnya, bersifat makro dan tidak secara langsung mengatur insentif sektoral. Namun, program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan pembiayaan produktif bersubsidi menjadi saluran utama agar kebijakan moneter berdampak pada sektor riil.
“Pada akhirnya, koordinasi kebijakan moneter, fiskal, dan sektor riil sangat penting untuk memastikan manfaat ekonomi dirasakan masyarakat secara luas,” tandas Yuliansah. (Red/Adv)


















